riwayat 1 hari yang meluas

pergandaan anonimitas masih tumbuh, Bu

angkotku berhenti di rumah sakit di koja. memberitakan calon penumpangnya dengan recehan di kepal tangan. aku kegerahan lalu melepas jaket 5 ribu pemberian ayah, ke dalam tas. semuanya masih menutup separuh muka mereka dengan kain. bertanya ku pun sama pada yang di dalam gedung.

sebelumnya angkot ini memberangkatkan aku dari sekolah yang sepi. kehabisan tawa dan teriak saat bel makan mengudara. kehausan rasa deg2an siswa mendengar nama-nama remedial dibacakan. walau teman senadiku hanya 5 orang, tapi rasanya sejuk saat tersadar bahwa aku merindukan semuanya, Bu.

tengadah doa dan perbaikan cerita harapan masih berlanjut, Bu.

sebelum berangkat angkot, aku kehausan, berjalan kira-kira 700 meter untuk ke angkot tadi serasa mau mati. trotoar berundak tinggi, tas adikku yang talinya terbelit, jilbab yang belum kugosok karna terburu-buru waktu. panas tapi menyejuk saat aku melewati gereja xaverius. di mana sejuk yang sama aku rasakan saat lewat masjid arrohmah paginya. 

tetapi, Bu. suara angkot masih kerempeng, tercekik.

sebelum sampai sekolah aku duduk di pojok angkot sebelah kiri, tempat kesukaanku untuk bisa melihat kesemuaannya lewat dan terlewat. motor ayah dengan anak atau truk besar seorang suami yang berleleh hati di rumahnya. atau pom bensin milik korporasi yang menghabiskan hutan di kalimantan dan sekitarnya. atau dua sejoli remaja yang tertawa mengisi hampa siang. bangku angkot bergeser ringan tanpa nyawa yang menempatinya. hanya aku. 

sebelum si sialan ini datang, biasa diangkot selalu sesak seperti keluarga sementara. ibu penjual kue kering dan basah, bapak guru berwajah menggemaskan yang misterius. kaka perempuan manis yang sekolahnya tepat di smpku, atau sebatas ibu yang menyeberang jalan besar. oiya, saat beruntung, biasanya aku bertemu bu Roy, guru matematika. semuanya ada di benak dan realita masa lalu. 

sudah Bu, aku sudah selesai mengeluh.

-Jakarta. 4 Juni 2021

Comments

Popular Posts